ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
MUQODDIMAH
فا عتبر يا اولي ا لا بصا ر
“Maka jadikanlah olehmu sebagai pelajaran (dari
kejadian-kejadian yang telah lalu) wahai orang-orang yang berpandangan luas
(Q.S.Al-Hasyr : 3)
القصص
الا و لي تنفع لذوي العقول العلي
“Kisah-kisah yang telah lewat sangat bermanfaat bagi
orang-orang berakal yang bermartabat” (Kata Hikmah)
Tulisan
singkat ini sengaja saya susun karena himmah saya dan kecintaan saya
terhadap Lembaga Pendidikan yang telah beliau tinggalkan kepada waritsahnya
yang harus dipelihara dan dihidupkan sampai akhir zaman. Juga terdorong dengan
beberapa orang yang sering bertanya kepada penulis, baik dari kalangan
mahasiswa, orang tua murid maupun yang lainnya tentang Almukarrom
Pendiri An-Nur tercinta ini. Maka insya Allah saya akan memaparkan
riwayat tersebut sesuai dengan kemampuan dan segala keterbatasan yang saya
alami. Dengan catatan bukan untuk mengkultuskan seseoarang atau
melebih-lebihkannya tanpa batas. Namun penulis ingin berusaha mewariskan
kecintaan kepada sejarah untuk ditelaah, diteliti dan dijadikan pelajaran di
dalam melaksanakan tugas dan mengisi sejarah ini sesuai dengan motto yang telah
saya tulis di atas.
Kita harus
mencontoh kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, para Nabi
dan para Rasul, para Aulia, para Ulama, para salafush shalih, mujahidin, orang
tua dan guru-guru kita sebagai pewaris al-Islam yang paling dekat. Untuk bisa
mencontoh, terlebih dahulu kita harus tahu benar riwayat yang akan dicontoh
itu.
NAMA, KELAHIRAN, ORANG TUA,
SAUDARA-SAUDARA
ISTERI-ISTERI DAN PUTERA-PUTERANYA
Nama pemberian
ayahnya: Ahmad Badruddin dengan sebutan nama kecil; Ujang. Ayahnya
adalah almagfurullah
K.H. Abdurrahman bin K.H, Muhammad Anwar bin K.H.Jalaluddin (Pendiri awal Pesantren
Karanganyar). Ibunya adalah almagfurullah
Ny.
Raden Siti Rukiyah binti H.Raden Muhammad Ilyas (Eyang Bojong) binti Raden
Surayuda (Wedana Malangbong).
Almagfurullah
K.H. Ahmad Badruddin dilahirkan di Karanganyar, Desa Mekarmulya, Kecamatan
Malangbong, Kabupaten Garut tahun 1918 M.
Saudara-saudara
seayah dan seibunya adalah Ny. Maemunah , Ny. Epon Mariyah , Ny .
Apun Mutmainah dan Ase Saefuddin (penulis). Sedangkan saudara seibunya (dari
K.H.Muhammad Yusya) adalah Mohammad Thaha, IHA Syarifuddin dan Obos Sambas.
Isteri-isterinya.
Pertama kali beliau menikah dengan Ny. Eulis puteri K.H.Jalaluddin (Ajengan
Pangkalan) hanya tidak lama dan tidak mempunyai keturunan. Setelah itu beliau
mencari ilmu dan pengalaman. Baru pada tahun 1942 beliau menikah dengan Ny. Hj.
Cicih Marfu’ah binti Muhammad Shobari Karanganyar. Isteri beliau inilah yang
sangat berjasa membantu beliau dalam membangun pesantren, terutama melayani
konsumsi para pegawai, para santri dan para tamu yang selalu berdatangan tiap
hari.
Sebelum beliau
menikah dengan isterinya tersebut, beliau pernah berkata kepada saya dengan
bahasa Sunda; “Akang mah rek neangan pipamajikaneun teh hayang nu sadia dibawa
sangsara, da akang mah teu boga pangala, jeung anu sadia bajoang” (Abang hanya
akan mencari isteri yang siap untuk hidup sengsara karena Abang tidak punya
penghasilan, dan isteri yang siap berjuang, ed). Cita-cita beliau rupanya
terkabul juga.
Isteri beliau
yang ketiga adalah Ny. Siti Quraisyin binti K.H.Muhammad Nahrawi Karanganyar.
Isteri keempat adalah Ny. Euis binti K.H.Affandi Cipeundey Cinagara Malangbong.
Sepeninggal mertuanya tersebut, beliau memajukan Majelis Ta’lim di Cipeundeuy.
Dan sepeninggal beliau diteruskan oleh adik ipar dan menantunya.
Putera-putri
beliau adalah K. Asep Husen (alm), Ny. Adah Sa’adah , Ny .
Ihat Prihatin , Ny . Didah, K.H.Deden Muhammad Ilyas,S.Pdi
(Pengasuh Pondok Pesantren sepeninggal beliau), Abdul Malik, S.Ag., Ny.K.R.
Habibah (dari isteri kedua). Ny. Mamah (dari isteri ketiga), Ny. Neneng , Ny. Anjar,dan Ny. Siti Rukiyah (dari isteri
keempat).
PENGALAMAN PENDIDIKANNYA
Sewaktu kecil,
beliau langsung mendapatkan pendidikan dari Ibu dan Ayah sampai belajar mengaji
al-Qur’an dan sebagainya. Dan ayahanda pernah berwasiat kepada Ua Abdullah;
bila beliau (ayahnya) meninggal, supaya ujang dimasukan ke pesantren untuk
penerus.
Ayahanda
meninggal tahun 1930 waktu beliau masih duduk di kelas III Volk Shool (SR pada
masa colonial Belanda). Walaupun pendidikan formal beliau sampai kelas III SR,
namun beliau tetap terus belajar mengaji di bawah asuhan K.H.Muhammad Bukhori
dan sebagainya.
Berkat
bimbingan dan dorongan ayahnya yang kedua (K.Moh. Yusya), beliau pernah belajar
di Pesantren Ciomas Malangbong, Pesantren Ciherang Malangbong, Pesantren
Tarogong Garut, Pesantren Cikelepu Balubur Limbangan, Pesantren Cangkuang
Sumedang, dan Pesantren Jatipamor Majalengka. Karena materi pendidikan
pesantren waktu itu belum menyentuh masalah-masalah mu’amalah (social-politik)
akibat politik penjajah masa itu, maka pada akhir masa penjajahan Belanda atau
awal penjajahan bangsa Jepang, sekitar tahun 1939 – 1940-an beliau tertarik
dengan pendidikan modern yang didirikan oleh Alm. S.M. Kartosuwiryo yaitu Institut
Suffah di Bojong Malangbong (waktu itu Alm. S.M. Kartosuwiryo sebagai
Pimpinan Syarikat Islam di Garut).
Dengan latar
belakang pendidikan Pesantren tradisional dan pendidikan modern tersebut,
kecerdasan dan wawasan beliau semakin berkembang. Terutama setelah beliau faham
(berdebat) dengan Pimpinan Jemaat
Ahmadiyah Qadiyani Indonesia .
Bahkan beliau pernah ditawari (dibujuk) akan disekolahkan di Pakistan, namun
beliau menolak, karena dalam bidang aqidah beliau sangat tidak setuju dengan
faham Ahmadiyah tersebut. Dan beliau punya perhitungan, kalau disekolahkan oleh
Ahmadiyah tentu akhirnya akan dijadikan mubaligh Jemaat Ahmadiyah. Selain dari
itu, karena beliau selalu ingat dengan keinginan orangtua untuk menjadi kader
penerus Pesantren di Karanganyar.
Cita-citanya
untuk membangun Pesantren bertambah
terangsang ketika beliau menyaksikan langsung perkelahian antara
kelompok santri salah satu pesantren dengan kelompok pelajar Mulo (zaman
penjajahan Belanda). Pihak pelajar Mulo mencaci habis-habisan kepada kelompok
santri dengan ejekan “santri budug”. Sementara para santri mengejek para
pelajar dengan ejekan; “Anak Belanda anak kafir”, sehingga terjadi
perkelahian (tawuran) di tengah jalan.
Kejadian
tersebut sangat membekas di hati beliau, sehingga beliau sering menceritakan
pengalamannya itu kepada penulis dan teman-teman. Perkelahian antara santri dan
pelajar yang sama-sama beragama Islam dan sama-sama bangsa Indonesia menjadi
penambah dorongan bagi beliau untuk mewujudkan cita-citanya untuk mewujudkan
lembaga pendidikan syamil/menyatu dan terpadu antara pendidikan yang disebut
pengetahuan agama dan pengetahuan umum, karena pemisahan itu adalah siasat kaum
penjajah (Belanda) untuk mencerai-beraikan persatuan bangsa dan ukhuwah
Islamiyah.
Alhamdulillah, dengan modal ketaqwaan
beliau disertai do’a ibunda, kesabaran isterinya (Ny.Hj.Cicih Marfu’ah) serta
berkat ketekunan beliau membina saudara-saudaranya, anak-anaknya, dan para
mantunya, serta Keluarga Besar Ny. Rd. Siti Rukiyah – Keluarga Besar
K.H.Jalaluddin, akhirnya cita-cita beliau terkabul. Setelah beliau meninggal,
Lembaga Pendidikan yang beliau tinggalkan ini harus dipelihara dan kita
kembangkan. Perlu kita sempurnakan sesuai dengan keinginan beliau.
PENGALAMAN BERORGANISASI
Selama beliau
belajar di Institut Suffah, beliau aktif dalam kepanduan SIAP (Syarikat Islam
Afdeling Pandu). Setelah itu, sekitar tahun 1940-an beliau terpilih menjadi
Ketua Pemuda Muslim Indonsia (PMI). Salah satu program kegiatan organisasi
tersebut adalah kursus bahasa asing bagi para pemuda dan para pemudi.
Di samping
aktif sebagai mubaligh yang bertabligh ke desa-desa di wilayah Kecamatan
Malangbong, dan kadang ke daerah-daerah tertentu di luar wilayah Malangbong,
beliau pada masa penjajahan bangsa Jepang dan awal kemerdekaan, aktif menjadi anggota Pengurus MIAI (Majelis Islam
Ala Indonesia) Kecamatan Malangbong. Beliau aktif pula dalam barisan Hizbullah
dan Sabilillah. Di awal masa kemerdekaan, beliau juga aktif sebagai
anggota Pengurus Komite Nasional Indonesia (KNI). Beliau juga pernah menjadi
Pengurus Koperasi Kecamatan Malangbong dan Desa Cihaurkuning Malangbong.
Menjelang
Pemilu pertama di Indonesia (1955) beliau aktif sebagai anggota Pengurus Partai
Masyumi sekaligus menjadi Panitia Pemilu untuk wilayah Kecamatan Malangbong,
dan yang paling beliau minati sejak tahun 1949/1950 adalah aktif dalam
organisasi pendidikan. Sebagai Ketua PGII (Persatuan Guru Islam Indonesia) Anak
Cabang Malangbong dengan pokok program kegiatan membina 30 Madrasah Diniyah
se-Kecamatan Malangbong dan kursus Pembinaan Guru-guru Madrasah seminggu sekali
bertempat (meminjam) di SDN Malangbong II, sementara penulis sebagai
Sekretarisnya.
Dalam pembinaan
umat, sampai tahun 90-an, beliau sebagai Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kecamatan Malangbong. Hanya sayang pada pertengahan masa Orde Baru kegiatan
tersebut sangat dibatasi (diisolir) oleh Pemerintah pada waktu itu, sehingga
terasa kegiatan Ulama/Dakwah/Ukhuwah Islamiyah mengambang. Luka ini masih
terasa sampai sekarang yang patut menjadi perhatian para Da’I untuk
mementingkan reformasi bidang ukhuwah Islamiyah.
Pada tahun
60-an, beliau aktif sebagai Ketua Penasihat PII Cabang Malangbong.
Kadang-kadang waktu itu timbul sikap dan tindakan yang memancing emosional dari
pengurus organisasi pemuda lain yang
menjurus pada bentrokan fisik. Namun hal tersebut dapat beliau islahkan, sesuai
dedngan cita-cita menuju Ukhuwah Islamiyah.
Pada tahun
60-an, karena ada peraturan Pemerintah (Depag RI) bahwa madrasah yang resmi
harus menginduk kepada salah satu organisasi atau Yayasan, maka melalui
musyawarah dengan para Pengurus Pesantren, pemuka masyarakat dan wali murid,
maka madrasah di lingkungan Pondok Pesantren Karanganyar bergabung ke
organisasi PUI (MWB- PUI dan PGA PUI). Selanjutnya beliau mendapat kepercayaan
menjadi Ketua Pengurus PUI Cabang Malangbong dan meresmikan madrasah-madrasah
di luar Kampung Karanganyar namun masih di wilayah Kecamatan Malangbong yang
sekarang dalam binaan YPI An-Nur (9 MI, 3 MTs, dan 1 MA).
Sejak sekitar
tahun 70-an, karena banyak reaksi yang tiddak menguntungkan dan mengundang
perpecahan, akibat kekurang fahaman beberapa pemuka agama setempat terhadap
organisasi PUI, akhirnya beliau bermusyawarah dengan Dewan Pengurus, dan beliau
mengeluarkan fatwa; “Kita jangan kultus organisasi dan harus suka mengalah
untuk mencari kemenangan menuju ukhuwah Islamiyah yang menyeluruh”. Maka
sejak itu PUI Cabang Malangbong dibekukan dan melepaskan atribut organisasi PUI
atas seluruh madrasah di lingkungan PUI Cabang Malangbong. Kemudian beliau
menjadikan seluruh asset pendidikan ini menjadi Lembaga Pendidikan Islam An-Nur
(LPI An-Nur).
Pada tahun
1980, atas keinginan beliau dan dorongan dari para pencinta pendidikan, guna
meningkatkan pembinaan dan memayungi asset pendidikan di lingkungan LPI An-Nur
ditingkatkan untuk berbadan hokum dengan nama YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AN-NUR
dengan Akta Notaris No. 56 Tanggal 22 Mei 1980 via Notaris Susana Zakariya,
S.H., Bandung .
MEMBANGUN PESANTREN DENGAN PENUH
PENDERITAAN
DAN TANTANGAN
Sebelum
pemerintahan Jepang, beliau pernah bekerja di perkebunan Belanda di Pacet
Cianjur. Pada permulaan Jepang menjajah negeri ini, beliau pulang kampung. Pada
waktu itulah beliau disuruh ibu untuk menunggui Masjid, dengan kata-kata: “Lamun
hidep hayang didu’akeun ku ema, tungguan Masjid” (maksudnya Masjid yang
menjadi pusat kegiatan Pesantren An-Nur, Karanganyar, ed). Sejak itulah (1942),
beliau bermukim di Karanganyar mengajar ngaji anak-anak di Masjid yang secara
fisik bangunan sangat darurat. Berlantai palupuh dan berdinding bambu.
Dalam situasi
yang sangat memprihatinkan beliau tidak putus asa, didampingi isterinya yang sangat
taat dan sabar. Pada zaman sulit itu, yang menjadi makanan pokok jagung dan ubi
kayu. Kalau ubi kayu dan
jagung tidak ada, rebus pisang dengan lalab (dedaunan) pun jadi. Penulis
sendiri ikut mengalaminya. Waktu anak sulung beliau, alm K.Asep Husen masih
bayi, sering ibunya yang merasa lapar hanya diberi air dan gula aren.
Tantangan dari
pihak masyarakat luar pun tidak jarang terjadi, setelah beliau mengadakan
pengajian umum seminggu sekali. Hal itu terjadi, karena pada masa itu di
tengah-tengah kehidupan masyarakat masih banyak hal-hal atau kebiasaan-kebiasan
yang dipandang menyalahi dan bertentangan dengan ajaran Islam, beliau rubah
secara berangsur-angsur. Misalnya kepercayaan kepada Nyi Sri (Dewi Sri),
membuat sesajen waktu motong padi atau waktu kenduri, dan sebagainya. Semua beliau
berantas dengan penuh bijaksana.
Bahkan ada
seseorang yang fanatic kepada adat pernah marah kepada beliau pada suatu
pengajian umum dan menantang beliau untuk berlaga adu kekuatan. Namun beliau
tidak menjawab, dan beliau hanya memberikan contoh-contoh dan penjelasan yang
sangat bijaksana.
Dalam cara-cara
ibadat pun yang dianggap perlu, terus beliau luruskan. Misalnya shalat
berjama’ah Rabu wekasan (hari Rabu terakhir di bulan Sofar, ed), shalat
berjama’ah nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban, ed) dan shalat
mu’adah setelah shalat Jum’at. Demikian juga mengenai kebiasaan shalat tarawih
bulan Ramadhan, beliau menegaskan supaya jangan terlampau cepat dan kebiasaan
ramai-ramai sambil main-main harus dirubah. Pada khutbah Jum’at beliau
terjemahkan dan diikuti oleh khatib lainnya. Beliau juga selalu menganjurkan
untuk membiasakan shalat tahajud, maka di Masjid Jamie An-Nur sampai
sekarang biasa dilakukan adzan awal sebelum shubuh, sekalipun di masjid lain
belum biasa.
Itulah ketekunan
dan kesabaran beliau membangun Pesantren ini. Sejak beliau mengajar di Masjid
yang telah reyot, dengan memakai alat tulis jarangking (gaplek) sebagai
pengganti kapur tulis, sementara yang dijadikan papan tulisnya adalah pintu.
Beberapa lama kemudian, untuk membuat papan tulis, beliau bersama saudaranya
(penulis, M. Thaha, IHA Syarifuddin dan O. Sambas) mengambil kayu dadap dari
daerah Bakom Malangbong. Kayu tersebut diolah sendiri sama beliau, sedang yang
dijadikan catnya terbuat dari racikan arang, daun papaya dan minyak tanah.
Kemudian secara berangsur-angsur beliau membuat pondok sederhana, Madrasah
Diniyah/Ibtidaiyah dan Majelis Ta’lim.
Setelah banyak
guru yang membantu, maka dibangunlah Pesantren system terpadu. Pada malam hari
para santri belajar di Pondok, siang hari belajar di Madrasah (MTs/PGA). Beliau
sendiri aktif mengajar langsung baik di Pondok maupun di Madrasah (PGA), bahkan
waktu itu para pelajar PGA diwajibkan tinggal di Asrama (Pondok). Pada tahun
1970 para santri ikut ujian Negara PGAA Negeri di Garut, dan lulus 100 %.
Kendatipun
kehidupan ekonomi waktu itu sangat sulit (krisis ekonomi), namun beliau tidak
pernah putus asa dan tidak tergoda dengan tawaran kedudukan atau kekayaan.
Misalnya, pada tahun 50-an, pernah beliau ditawari menjadi Kepala Inpeksi
Pendidikan Agama Kabupaten Purwakarta, namun beliau tolak. Setelah itu, pernah
pula ketika beliau bersama penulis shilaturrahim ke Majalengka, beliau ditawari
sebidang tanah (disuruh pindah) ke daerah tersebut dan segala fasilitas akan
disediakan. Namun beliau tidak mau, karena beliau sangat menghormati yang
menyuruh menunggui Masjid di Karanganyar (Ibunya). Beliau sangat hormat kepada
Ibu, hatta sebelum bepergian ke manapun,
beliau selalu minta izin dan do’anya kepada Ibu.
Sungguhpun
demikian, kepada adik-adik beliau yang laki-laki (termasuk kepada penulis),
beliau menyuruh bekerja menjadi guru dinas (Pegawai Negeri). Selain untuk
mencari nafkah, beliau amanat bahwa penulis harus bekerja tetapi ingat: “Jangan
mencari ‘karir’ di Pemerintahan, tetapi dengan maksud untuk mencari pengalaman
sebagai bekal untuk kemajuan kita, meneruskan perjuangan orang tua”.
Selain daripada
itu, untuk mengetahui pengalaman/perbandingan dari lembaga pendidikan yang
telah dipandang maju, beliau tidak menutup diri. Sehingga pada tahun 1964,
beliau pernah mengutus penulis untuk meninjau ke Pondok Pesantren Modern
Darusslam Gontor Ponorogo Jawa Timur, untuk meningkatkan administrasi,
penerapan disiplin, shalat berjama’ah, penerapan bahasa Arab dan sebagainya.
KETEGUHAN DALAM PENDIRIAN, KEULETAN,
DAN KESABARANNYA
Sekalipun
banyak alim ulama yang meninggalkan kampong (Pesantren) untuk ikut dalam
gerakan Darul Islam di gunung, beliau tidak mau pergi meninggalkan Pesantren,
sekalipun pernah dijemput oleh gurunya dari daerah Sumedang. Beliau memberikan
jawaban; “Tujuan kita sama, tetapi caranya berbeda”. Padahal beliau pernah
menjabat sebagai Kepala Penerangan DI untuk wilayah Malangbong Selatan. Pilihan
beliau untuk tidak ikut-ikutan masuk hutan juga didasarkan kepada Al-Qur’an
Surat al-Taubah [9]: 122 yang artinya:
“Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya”.
Beliau
bergeming, tidak mau meninggalkan Pesantren. Beliau tetap istiqamah dan
bersabar dengan penuh bijaksana dan keuletan mampu menyikapi keadaan yang kehidupan social politik yang serba
sulit waktu itu. Hanya pada situasi sangat genting sekali karena sering
dicari-cari orang Belanda, beliau pernah mengungsi di Cipaganti Bandung bersama
paman (Raden Anwar Barjah) dari Bojong. Namun tidak lama di pengungsian, karena
beliau disuruh oleh ibu harus segera pulang, dan penulis sendiri yang
menjemputnya ke Bandung. Karena beliau sangat taat kepada Ibu, sekalipun
dirasakan sangat berat, beliau pulang untuk membangun pesantren ini. Maka
ketika Ibu wafat tahun 1980, Ibu insya Allah merasa bahagia,
karena amanatnya selalui ditaati oleh putera terbesarnya. Karena dengan washilah
beliau selaku Pimpinan Pesantren juga berhasil membimbing adik-adiknya,
anak-anaknya serta keponakannya dengan tekun,
sabar dan bijaksana, yang
kemudian hasil binaan beliau didorong untuk bersama-sama membantu beliau
membina Pesantren ini dengan penuh keikhlasan dan penuh rasa tanggung jawab.
Kesabaran
beliau dalam menghadapi segala cobaan hendaknya patut diteladani. Selain
tekanan ekonomi yang tidak menguntungkan, kadang cobaan dan tantangan datang
dari teman seperjuangannya. Kalau ada yang mencaci maki, beliau balas dengan
senyuman. Kalau ada yang menjauhi, beliau balas dengan silaturrahim. Beliau
tegas dalam mempertahankan prinsif, namun beliau moderat dan toleran dalam
masalah-masalah furu’iyah atau kemasyarakatan.
Keistimewaan
dalam aspek ubudiyahnya, yang penulis tahu sejak beliau muda, beliau sangat mengutamakan
bangun malam (shalat tahajud) dan wirid al-Qur’an. Hal ini sering beliau
wanti-wanti kepada para guru, para orang tua dan para santri tentang pentingnya
shalat berjama’ah dan shalat tahajud tersebut. Keteguhan beliau dalam bidang
ini, pernah pada masa awal kemerdekaan, karena pimpinan rapat organisasi
melalaikan shalat, beliau mengancam akan keluar dari organisasi tersebut bila
Pimpinan Rapat melalaikan shalat. Akhirnya Pimpinan Rapat tunduk kepada beliau.
CITA-CITA
NAIK HAJI
Sekitar tahun
80-an, beliau bercita-cita untuk dapat melaksanakan ibadah haji, namun Allah
Subhanahu wa Ta’alaa belum segera mentaqdirkannya. Sekalipun ada tanah yang
akan dijual (untuk ongkos keberangkatan haji tersebut), namun gagal lagi gagal
lagi. Akhirnya beliau mendapat rezeki yang tidak disangka-sangka sebelumnya,
sehingga pada tahun 1982 beliau terlaksana naik haji bersama isteri dan anak laki-laki kedua
(K.H.Deden Muhammad Ilyas, BA, S.Pdi). Menurut rencananya, anaknya tersebut
supaya mukim (belajar) di Makkah, namun karena kondisi kesehatannya kurang
mengizinkan, hal ini tidak terlaksana.
Sebelum beliau
naik haji, beliau berbicara kepada anak-anaknya supaya jangan ada yang iri hati
kepada Deden dibawa ke tanah suci, karena ia yang sangat diharapkan untuk
menjadi penerus beliau di Pesantren.
Sekembalinya
beliau dari Makkah, kegiatan beliau yang langsung mengajar dikurangi dan
mengaktifkan putera penerusnya tersebut bersama menantu beliau yang sejak lama
membantunya membina (mengajar) di
Pesantren (K. Atang Jamaluddin).
SAAT-SAAT AKHIR HAYATNYA
Dalam keadaan
fisik beliau yang semakin melemah dan sering sakit-sakitan, semangat untuk
membangun tetap nampak untuk dicontoh generasi penerusnya. Bangunan yang terakhir
beliau bangun dan beliau tinggalkan adalah Mushala An-Nur di komplek
MTs/MA/Asrama Puteri yang peruntukan kegiatan ibadah shalat warga Asrama
Puteri, para santri/pelajar MTs/MA serta warga sekitar. Dan terakhir sekali
beliau mengusahakan membeli tanah di lokasi Andir Desa Campaka (Gerbang menuju
Pesantren) dengan para pengumpul dana Bapak H. Sirod Krisubanu, SH (alm), Bapak
H. Syarif Hidayat (alm), Bapak Agus Syamsuddin (alm), Bapak Ade Saefuddin dan
Bapak Aang Ali Muhammad.
Penulis masih
ingat ketika akan serah terima tanah tersebut. Karena beliau sedang dalam
keadaan sakit dan baring di tempat tidur. Semula serah terima akan dilakukan di
tempat lain (diwakili) supaya tidak mengganggu beliau. Tetapi beliau tetap
berkeinginan menyaksikan langsung serah terima tanah tersebut. Bahkan beliau
masih sempat memaksakan berbicara pada acara serah terima tersebut.
Itulah himmah
beliau terhadap lembaga pendidikan ini yang harus kita contoh sampai akhir
zaman. Akhirnya, walaupun kita keluarga hanya berkeinginan untuk terus dalam
bimbingan beliau, namun Allah lah yang menentukan segalanya. Beliau berpulang
kepangkuan-Nya pada hari Rabu tanggal 18 Ramadhan 1419 Hijriyah bertepatan
dengan tanggal 6 Januari 1999 Miladiyah pukul 17.25 WIB. Inna lillahi wa
inna ilaiyhi raaji’uun (sesungguhnya kita semua milik Allah, dan
sesungguhnya kepada-Nya kita akan kembali).
PENUTUP
Catatan ini sumbernya dari penulis sendiri yang
selalu dekat dan mendampingi beliau. Bahkan pada masa awal beliau mukim di
Karanganyar, penulis pernah serumah dengan beliau. Untuk membantu beliau, di
dapur, di sawah, di kebun dan sebagainya. Maka banyak cerita-cerita beliau yang
penulis dengan langsung atau akhlak beliau yang penulis saksikan langsung. Pada
tahun 1947, penulis pun membantu beliau mengajar di madrasah Diniyah, juga
berdasarkan cerita-cerita dari kakak-kakak penulis yang masih ada.
Selanjutnya,
penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kelemahan penulis dalam menyusun
catatan singkat ini, tiada lain penulis mohon ma’af yang sebesar-besarnya dari
semua pembaca catatan ini. Dan terima kasih bila ada pihak keluarga yang ingin
menyempurnakannya.
Dan kesan
penulis selanjutnya, sebagaimana telah dikemukakan pada mukoddimah, “Tiada
maksud melebih-lebihkan sesorang tanpa batas” atau “Agul ku payung butut”,
namun harapan penulis ingin melestarikan kebaikan-kebaikan orang tua kita
sampai akhir zaman.
Marilah kita
berdo’a, bila ada kekeliruan beliau, semoga diampuni Allah Subhanahu wa
Ta’alaa, dan jasa baiknya semoga diterima di sisi-Nya. Amin ya rabbal
‘alamiin.
Dan yang lebih
penting dari itu, marilah kita bercermin kepada segala jejak langkah beliau,
agar kita bisa meneruskan langkah dan pendirian istiqamah untuk melestarikan
dan mengestafetkan “An-Nur” sampai akhir zaman.
Insya Allah,
dengan bercermin kepada keshalihan Orang Tua yang telah mendahului kita, kita
pun ingin berbuat kesalihan seperti Orang Tua dan harus mengikhtiarkan
kesalihan itu di mana saja kita berada. Karena kita akan meraih kemaslahatan,
kedamaian dan kebahagiaan di mana saja kita berada. Karena kita tidak akan
dapat meraih kemaslahatan, kedamaian dan kebahagiaan yang diridhai Allah Subhanahu
wa Ta’alaa.tanpa memperhatikan dan mencontoh jejak langkah orang shalih
pendahulu kita, sebagaimana yang dikatakan salah seorang Imam Mujtahidin:
لا يصلح ا خر هذ ه الا
مة الا بما صلح به اولها
Wallahu ‘alam bish shawaab.
“Selamat berjuang, selamat
menghidupkan Izzul Islam wal Muslimin An-Nur ini”, khususnya kepada keluarga besar K.H.
Muhammad Jalaluddin, dan umumnya kepada segenap kaum muslimin.
bismillah..
BalasHapusmaaf sebelumnya admin, izin mengutip sebagai referensi pembuata n paper ilmiah ��
barakallahu untuk pesantren Annur,Allahummagfirlahu untuk pendiri pesantren Annur
BalasHapus